Kamis, 26 Mei 2016

Rangkuman Struktur Penulisan Ilmiah Bab 4

Jarum Sejarah
                Raja obat yang mampu mengobati segala macam penyakit ini adalah warisan dari zaman dulu. Pada masyarakat primitif, pembedaan antara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17. Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan  apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui, dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
                Salah satu cabang pengetahuan yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dalam segi metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu (ajaran rahasia) yang merupakan paradigma dari abad pertengahan. 

Sebuah Catatan perjalanan
                Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang segala sesuatu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia, di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti filsafat, seni dan agama. Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Setiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu, agar kita dapat memanfaatkan pengetahuan maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan olehnya. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana saja suatu pertanyaan yang kita punya harus kita ajukan.

Pengetahuan yang Dapat Diandalkan
                Setiap jenis pengetahuan dicirikan oleh tiga pikiran dasar kefilsafatan yakni apa yang di telaah nya (ontology), bagaimana caranya memperoleh pengetahuan dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan (aksiologi). Artinya, dengan pengetahuan ilmiah maka manusia mampu mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala alam. Itulah sebenarnya titik keberangkatan penjelajahan pengetahuan ilmiah yang sekaligus merupakan titik akhir perjalanannya.

Antara Ilmu dan Seni    
                Seni, pada sisi lain pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan seluruh kehadiran dan maknanya. Seni, menurut Mochtar Lubis, merupakan produk dari daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas dari cengkraman dan belenggu bergaya ikatan. Sebuah karya seni yang baik biasanya mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada manusia. Ilmu, mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam, menjawab kesimpulan yang bersifat umum dan inpersonal.

Seni Terapan (Applied Arts) dan Seni Halus (Find Art)
                Sesuai dengan pengetahuan mereka tentang gejala-gejala alam maka mengontrol timbulnya gejala yang berupa malapetaka adalah identik dengan mengarahkan kelakuan para dewa yang berkuasa. Mungkin inilah sebabnya mengapa sebuah peradaban meskipun mempunyai kemampuan dalam seni terapan yang tinggi tidak mampu mempunyai pengembangan diri dibidang keilmuan. Sebab salah satu jembatan yang menghubungkan seni terapan dengan ilmu dan teknologi adalah pengembangan konsep teoretis  yang bersifat mendasar yang selanjutnya dijadikan tumpuan untuk pengembangan pengetahuan ilmiah yang bersifat integral.




Akal Sehat dan Metode Coba-Coba
                Akal sehat (common sense) dan cara coba-coba (trial and error) mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam. Jadi akal sehat, terlepas dari berbagai kelebihannya, mempunyai kekurangan yang harus diperhitungkan.

Rasionalisme dan Empirisme
                Perkembangan selanjutnya dari akal sehat adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Kelemahan dari berfikir rasional menimbulkan berkembangnya empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman. Maka kegiatan berpikirpun beralih pemikiran abstrak yang bersifat dedukatif kepada observasi dan logika induktif.

Metode Eksperimen
                Metode eksperimen ini dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan islam. Ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi dalam peradaban islam antara abad XII masehi. Pada zaman ini berkembang kebudayaan ilmiah, yang disebut oleh metraux dan crouzt, disebut sebagai salah satu puncak kegemilangan kemajuan dalam peradaban manusia, pada kurun waktu inilah dikembangkan metode observasi dan metode eksperimen oleh sarjana muslim.
Metode Ilmiah
                Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Metode ilmiah yang sekarang kita pergunakan, dalam penelitian ilmiah berkembang melalui perjalanan pemikiran yang panjang. Inilah sebab utama dibedakannya antara epistemology penemuan ilmiah yang cocok untuk peneliti professional dan epistemology pemecahan masalah yang cocok untuk penelitian akademik. 

Struktur Pengetahuan Ilmiah
                Pengetahuan yang diproses melalui metode ilmiah dinamakan pengetahuan ilmiah. Berbagai disiplin keilmuan mencoba memperoleh dan menyusun pengetahuan ilmiah ini sesuai dengan bidangnya masing-masing. Disiplin ilmu ekonomi, umpamanya, menyusun pengetahuan ilmiah mengenai kegiatan ekonomi. Teori ekonomi pada hakikatnya merupakan kumpulan pengetahuan mengenai kegiatan ekonomi baik yang berbentuk teori, hukum, prinsip dan sebagainya.

Antara Dunia Fakta dan Dunia Konsep
                Ilmuwan, atau kita semua yang berpikir secara ilmiah, hidup dalam dua dunia yakni dunia fakta dan konsep. Seperti yang kita ketahui ilmu mempelajari realitas empiris yakni kenyataan yang dapat ditangkap lewat pancaindra. Artinya kita ini hidup di dunia fakta, baik yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita, maupun yang tidak. Katakanlah kita akan meneliti mengenai kerajinan tangan yang hasilnya diekspor ke luar negeri. Kemudian kalau kita membuka buku teori ekonomi kita maka fakta kerajinan tangan tidak akan kita lihat di dalamnya. Sebab dalam teori ekonomi kita tidak lagi mempermasalahkan fakta melainkan konsep. Jadi dunia teori adalah dunia konsep dan bukan dunia fakta sebagaimana kita lihat dengan pancaindra kita.
                Konsep adalah sekumpulan fakta yang telah direduksikan menjadi pernyataan abstrak. Artinya, kerajinan tangan dan berbagai benda lainnya yang sejenis, dikelompokkan menjadi satu kategori yang dinamakan benda ekonomi. Benda ekonomi adalah konsep dalam teori ekonomi. Benda ekonomi adalah semua benda, termasuk kerajinan tangan, yang jumlahnya langka sehingga untuk memperolehnya kita harus mengeluarkan pengorbanan.

Konsep: Acuan yang Menakjubkan
                Dari ilustrasi di atas kita dapat menyaksikan bahwa konsep seperti nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik bisa menjelaskan banyak hal yang kita temui dalam dunia fakta. Konsep adalah bahasa yang dipakai sesama ilmuwan dalam menganalisis berbagai fakta. Berpikir dengan mengacu kepada konsep, atau mempergunakan konsep sebagai dasar argumentasi anda, dinamakan berpikir secara konseptual atau konsepsional. Berpikir secara konsepsional ini merupakan salah satu tujuan utama dalam pendidikan keilmuan di samping berpikir nalar dan berpikir antisipatif. Konsep merupakan acuan yang menakjubkan sebab dia mempunyai daya penjelasan yang luas dan meyakinkan. Kalau anda tersesat di hutan dalam ekspedisi penelitian anda dan anda menemukan binatang yang tidak anda kenal maka anda sebaiknya menemukan acuan teoretis dulu tentang binatang itu sebelum anda mendekatinya. Anda bisa menelepon teman anda seorang dokter hewan dan menjelaskan ciri-cirinya.

Konsep dan Penjelasan
                Ilmu berfungsi sebagai acuan dalam mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol gejala alam. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diproses melalui prosedur yang disebut metode ilmiah. Prosedur ini dilaksanakan oleh komunitas ilmiah dengan penuh kedisiplinan yang menyebabkan ilmu mampu berkembang dengan sangat pesat. Penemuan ilmiah yang satu akan menyebabkan penemuan-penemuan ilmiah yang lainnya.
                Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal diakui sebagai pernyataan pengetahuan ilmiah yang baru yang memperkaya khazanah ilmu yang telah ada. Metode ilmiah mempunyai mekanisme umpan balik yang bersifat korektif yang memungkinkan upaya keilmuan menemukan kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Pada dasarnya ilmu dibangun secara bertahap dan sedikit demi sedikit di mana para ilmuwan memberikan sumbangannya menurut kemampuannya. Tidaklah benar adanya anggapan bahwa ilmu dikembangkan hanya oleh para jenius yang bergerak dalam bidang keilmuan. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat mendeskripsikan dan menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada.

Teori Ilmiah
                Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup deskripsi dan penjelasan mengenai suatu objek tertentu. Teori ini bisanya berada di bawah payung dari sebuah disiplin keilmuan tertentu. Umpamanya teori ekonomi berada dalam payung ilmu ekonomi. Teori ekonomi ini pun dirinci dalam teori yang cakupannya lebih kecil umpamanya teori mikro ekonomi dan teori makro ekonomi. Secara substantive teori berdiri dari subteori, hukum prinsip, asas dan bentuk-bentuk lainnya. Secara semantik teori melambangkan abstraksi pemikiran tentang suatu objek dalam berbagai bentuk substantive tersebut. Beberapa teori yang bersifat spesifik biasanya digabungkan menjadi teori yang bersifat lebih umum. Kita lihat bahwa teori Newton sebenarnya merupakan gabungan dari teori-teori yang telah dikembangkan oleh pendahulunya yakni Galileo, Copernicus dan Johannes Kepler.
                Copernicus (1473-1543) mengembangkan teori baru bahwa bukan matahari yang berputar mengelilingi bumi melainkan bumi mengelilingi matahari. Teori ini merupakan perombakan terhadap teori lama yang dikemukakan oleh Ptolemaeus (150 S.M.), dari Alexandria yang mengemukakan bahwa bumi adalah pusat jagat raya dengan planet-planetnya yang berputar mengelilingi dalam orbit-orbit yang berbentuk lingkaran. Akhirnya Newton (1642-1727) pada tahun 1686 menerbitkan Philosophiae Naturalis Principia Mathematica yang merupakan teori yang mempersatukan teori Galileo, Copernicus, dan Kepler. Teori Newton menyatakan bahwa semua gerak baik yang terjadi di langit atau bumi, tunduk kepada hukum-hukum yang sama. Dengan teori ini maka Newton kemudian mengembangkan hukum-hukumnya sebagaimana kita kenal sekarang.

Teori Ilmu Sosial
                Bila pada fisika saja keadaannya sudah seperti ini maka dapat dibayangkan bagaimana situasi perkembangan penjelasan teoretis pada disiplin keilmuan bidang sosial. Ilmu-ilmu sosial pada kenyataannya terdiri dari berbagai teori yang dikembangkan secara terpisah dan terpilah yang mempunyai otoritas dalam cakupan yang sangat terbatas umpamanya teori motivasi Maslow yang sering kita kutip sebagai contoh. Di samping teori motivasi Maslow ini, kita akan menemukan berbagai teori motivasi yang pada hakikatnya adalah sama, tetapi pada artikulasinya tampil berbeda.
                Di bidang ilmu-ilmu sosial pengembangan teori ilmiah yang bersifat umum dan bersifat nomotetis “pada hakikatnya telah ditinggalkan.” Hanya ilmu ekonomi yang merupakan perkecualian dan merupakan disiplin ilmu sosial yang paling maju. Dengan berkembangnya ilmu-ilmu perilaku manusia (behavioral sciences) maka ilmu-ilmu sosial mulai memfokuskan penelaahannya pada gejala yang dapat diamati dan diukur sehingga pendekatan kuantitatif yang diterapkan. Kita bisa mengerti bahwa pengembangan teori ilmu-ilmu sosial berada pada tataran kualitatif, dan bahkan mungkin sebaiknya tetap begitu, namun kita menolak pendapat bahwa dalam analisis penerapannya tetap bersifat kualitatif juga.

Dari Homo sapiens ke Homo faber
                Konsep yang bersifat teoretis karena sifatnya yang mendasar sering tidak langsung mempunyai kegunaan praktis. Hal ini mudah dimengerti karena sifatnya yang abstrak dan jauh dari realitas maka kegunaan praktisnya tidak secara langsung dapat terlihat secara nyata. Kegunaan praktisnya tidak secara langsung dapat terlihat secara nyata. Kegunaan dari sebuah konsep yang bersifat teoretis baru dapat dikembangkan sekiranya konsep yang bersifat mendasar tersebut dapat diterapkan pada masalah yang bersifat praktis. Dan dari pengertian inilah kita sering mendengar konsep dasar dan konsep terapan, ilmu dasar dan ilmu terapan serta penelitian dasar dan penelitian terapan.
                Teknologi merupakan penerapan teori imliah dalam membuat peralatan yang dapat membantu manusia dalam kehidupannya. Dalam hal ini terdapat kekeliruan yang harus diluruskan. Sering terdapat pandangan bahwa teknologi merupakan milik eksklusif ilmu-ilmu alam. Sehingga pernyataan ilmu dan teknologi (science and technology) sering ditafsirkan sebagai ranah ilmu-ilmu alam. Diperlukan waktu yang cukup lama dapat menerapkan penemuan-penemuan ilmiah yang baru kepada pemanfaatan praktis yang berguna. Terdapat selang waktu selama 250 tahun antara percobaan yang pertama tentang magnet oleh William Gilbert dengan dikembangkannya teori elektromagnetik oleh James Clerk Maxwell sekitar tahun 1870. Dengan demikian maka makin cepat manusia mengembangkan teknologi, yang ada pada satu pihak ibarat dewi penolong yang penuh dengan berkat.
                Manusia disebut Homo faber (makhluk yang membuat peralatan) di samping Homo sapiens (makhluk yang berpikir) yang mencerminkan kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoretis dengan teknologi yang bersifat praktis. Berbeda dengan pengetahuan lainnya seperti seni yang bersifat estetis maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh kehidupannya. Meskipun pada tahap embrional pengembangan ilmu pun pernah bersifat estetis, namun dengan perkembangan kearah kedewasaannya serta kemampuan dalam penerapannya, maka ilmu harus dibedakan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya, terutama dari segi kemampuannya untuk memecahkan masalah praktis.

Struktur Pengetahuan Ilmiah
                Pengetahuan ilmiah dapat diibaratkan sebagai piramida terbalik yang melambangkan pengetahuan yang harus berkembang. Pada bagian yang paling dasar dari piramida tersebut terletak postulat. Postulat merupakan anggapan dasar tentang objek yang menjadi focus penelaahan kita. Anggapan dasar ini bertolak dari cara pandang kita terhadap objek tersebut. Postulat ini kebenaraannya     tidak membutuhkan verifikasi empiris sebab postulat bukanlah sifat yang melekat pada objek yang kita telaah melainkan cara pandang kita terhadap objek tersebut. Lain halnya dengan asumsi yang merupakan anggapan dasar tentang realitas objek yang sedang kita telaah. Asumsi ini harus diverifikasi kebenaraannya agar sesuai dengan realitas yang dimanifestasikannya. Setiap disiplin pengetahuan ilmiah mempunyai postulat tentang objek yang ingin dipelajarinya. Postulat ini dibentuk oleh objek forma (cara pandang) dan objek material pengetahuan ilmiah tersebut. Inilah salah satu demarkasi suatu disiplin keilmuan.
                Ilmu manajemen mempunyai asumsi tentang manusia yang berbeda tergantung dari organisasi di mana manusia itu bekerja sama. Manusia memasuki organisasi tergantung dari kebutuhannya yang berbeda-beda. Pada dasarnya bukan hanya pada ilmu manajemen saja kita harus memperhatikan asumsi tentang manusia melainkan berlaku untuk seluruh ilmu sosial. Kita sering melihat kegagalan penerapan ilmu sosial dalam memecahkan masalah disebabkan tidak tepatnya menerapkan asumsi.
                Sebuah teori yang berlaku di negara tertentu belum tentu cocok untuk negara lain sekiranya asumsi tentang manusia dalam teori tersebut ternyata berlaku. Demikian juga dengan bermacam-macam teori lainnya yang tersedia dalam khazanah pengetahuan ilmiah. Kita harus memilih teori yang terbaik dari sejumlah teori-teori yang ada berdasarkan kecocokan asumsi yang dipergunakannya. Itulah sebabnya maka dalam pengkajian ilmiah seperti penelitian dituntut untuk menyatakan secara tersurat postulat, asumsi, prinsip serta dasar-dasar pikiran lainnya yang dipergunakan dalam mengembangkan argumentasi. Pikiran dasar dalam pengetahuan adalah postulat, asumsi, dan prinsip. Jadi kalau kita mau mengubah sesuatu secara fundamental maka yang harus diubah bukan tubuh pengetahuannya melainkan pikiran dasarnya.

Teori Nomotetis dan Genetis
                Kebanyakan dari ilmu-ilmu sosial tidak mampu mengembangkan teori yang bersifat nomotetis ini disebabkan realitas sosial di mana ilmu itu diterapkan bersifat tidak konstan melainkan sengat bervariasi. Untuk itulah maka ilmu sosial mengalihkan penelaahannya dari teori yang bersifat nomotetis ke teori genetis. Teori genetis adalah teori yang bersifat mendeskripsikan dan menjelaskan namun tidak memprediksikan dan mengontrol. Selain dalam ilmu-ilmu sosial, teori genetis ini juga dikembangkan dalam ilmu-ilmu lain, contohnya dalam ilmu kedokteran yang mendeskripsikan dan menjelaskan substansi dan fungsi organ tubuh manusia. Walaupun demikian teori genetis ini dapat dipergunakan sebagai premis dalam menyimpulkan hubungan sebab akibat. Dibutuhkan dua buah teori genetis untuk menyimpulkan hubungan ini ditambah dengan asumsi tentang realitas di mana kesimpulan itu ditarik. Dengan demikian maka penalaran dalam ilmu sosial tidak merupakan deduksi murni namun deduksi dengan mempertimbangkan realitas sosial yang disimpulkan secara induktif.
                Ilmu sosial yang penuh dengan ketidakpastian membutuhkan kematangan dan kearifan berbeda dengan pengetahuan yang bersifat pasti. Seorang pakar di bidang matematika biasanya sudah biasa menghasilkan karya yang bermutu sebelum usia 30 tahun, pakar di bidang ilmu alam sebelum usia 40 tahun, namun pakar di bidang ilmu sosial baru matang setelah usianya lebih dari 50 tahun. Hal ini harus menyadarkan peneliti ilmu-ilmu sosial bahwa kita tidak mengekor kepada penelitian dalam ilmu-ilmu alam. Model penelitian dalam ilmu alam tidak selalu cocok dengan penelitian dalam ilmu sosial. Itulah sebabnya maka penalaran menjadi lebih berfungsi dalam ilmu sosial ketimbang ilmu alam. Semoga ilmuwan sosial menikmati dinamika dalam penalaran yang menjadikan penelitian sebuah avontur ide yang menyenangkan. Bacalah pembahasan penutup di bawah ini dengan santai dan senyum di kulum. Pembahasan keilmuan tidak selalu membikin kita mengerutkan dahi, kita bisa mendiskusikannya bersama sepotong kue dan secangkir kopi.



Konsep dan Penalaran
                Kalau kita dalam kehidupan nyata menemukan bahwa sampah yang mengonggok di selokan menyebabkan banjir maka hubungan sebab akibat yang bersifat faktual ini tidak terlalu membutuhkan penalaran. Kedua faktor yang terlibat dalam hubungan kausalitas ini berada pada tempat yang sama dan dapat kita saksikan secara kasat mata. Akan tetapi sering sekali masalah yang kita hadapi tidaklah semudah ini. Kedua faktor itu terpisah satu sama lain dan Cuma pikiran yang menghubungkan mereka dalam kaitan penalaran. Secara sendiri-sendiri konsep genetis mempunyai kemampuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan secara terbatas yakni mengenai kaitan fungsional antar berbagai elemen yang membentuk teori tersebut. Katakanlah umpamanya hal ini kita temui dalam teori organisasi atau budaya organisasi. Namun jika konsep-konsep ini dihubungkan dengan jembatan penalaran, maka akan terbentuk pengetahuan baru, yang bukan saja mampu mendeskripsikan dan menjelaskan namun juga mampu meramalkan dan mengontrol seperti yang dilakukan teori nomotetis.

Hakikat Ilmu: Sebuah Tinjauan Filosofis
                Kosakata selain ilmu dalam bahasa indonesia yakni “ilmu pengetahuan” dan “sains”. Sains didapat dari kata bahasa inggris yaitu science karena sudah terdapat padanan kata “ilmuwan” untuk scientist dan “metode ilmiah” untuk scientific method. Pengetahuan mempunyai beberapa cabang pengetahuan yang salah satunya adalah ilmu (science), filsafat, seni, dan agama. Tiap cabang pengetahuan ini dicirikan oleh landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang memberikan karakteristik “ilmiah” kepada cabang pengetahuan ini yang menyebabkan ilmu adalah sinonim dengan pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan
                Pengetahuan merupakan terminologi genetik yang mempunyai cabang-cabang pengetahuan yang bersifat spesifik. Pengetahuan manusia terhadap objek di luar dirinya diperoleh melalui kemampuannya dalam mengindra, merasa, dan berpikir. Manusia mencoba menemukan kebenaran baik melalui pengalaman berdasarkan pancaindranya maupun kegiatan berpikir berdasarkan akalnya. Kegiatan berpikir manusia dapat dibedakan menjadi dua, yakni kegiatan berpikir yang bersifat nalar (berpikir logis) dan kegiatan berpikir yang mem-bypass nalar (berpikir intuitis). Berpikir intuitif merupakan salah satu kemampuan manusia yang penting untuk menangkap pengetahuan, karena tidak semua pengetahuan diperoleh melalui penalaran. Disamping itu, untuk pemeluk agama tertentu, pengetahuan manusia juga bersumber dari wahyu Tuhan YME.

Ontologi Ilmu
                Cabang kefilsafatan yang mempelajari hakikat realitas disebut metafisika. Metafisika terdiri dari dua aspek yaitu ontologi dan kosmologi. Ontologi mengkaji masalah fundamental dari realitas seperti ruang dan waktu, sedangkan kosmologi mengkaji masalah mengenai keterkaitan seluruh entitas umpamanya keteraturan (order).
                Ontologi ilmu mencakup batas telaahan yang dikaji ilmu dan prinsip penafsiran tentang realitas yang menjadi objek telaahannya. Ilmu membatasi telaahannya hanya pada dunia yang dapat dijangkau oleh pancaindra yang mempunyai karakteristik:
1.       Realitas adalah gejala fisik.
2.       Berwujud atau fakta atau data.
3.       Merupakan perkiraan dari kenyataan yang sebenarnya.
4.       Dinyatakan sebagaimana adanya (das Seiri).
Ilmu menyatakan beberapa anggapan dasar tentang realitas ini yakni bersifat:
a.       Uniform
b.      Relatif tetap
c.       Mempunyai pola baku kejadian
                Anggapan dasar tentang realitas ini dinamakan asumsi, karena itu realitas menurut pandangan ilmu dicerminkan oleh karakteristik ontologis dan asumsi keilmuan. Kenyataannya, realitas jauh lebih kompleks dan lebih luas daripada realitas keilmuan tersebut.

Dari Fakta ke Teori
                Unit analisis ilmu adalah fakta yang merupakan unsur yang membentuk realitas. Fakta yang mempunyai karakteristik tertentu dinamakan data. Pola baku probabilistik yaitu dimana sebab A tidak selalu menghasilkan sebab B. Pola baku deterministik berlaku pada semua kejadian tanpa terkecuali seperti “semua manusia akhirnya mati”.
                Ilmu tidak hanya puas dengan mengetahui pola baku ini, tetapi juga ingin menemukan penjelasan “mengapa dan bagaimana” mendung bisa mengakibatkan timbulnya hujan dengan mengembangkan teori yang bukan saja mampu menjawab pertanyaan mengenai hubungan mendung dengan timbulnya hujan, tetapi juga berbagai hal yang mencakup berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan iklim. Lalu ditemukan teori yang berkaitan dengan iklim yang disebut klimatologi yang sangat berperan dalam kehidupan modern sekarang ini. Teori klimatologi ini bukan saja mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya hujan, tetapi juga menjelaskan mengapa hujan turun dan bahkan mampu memprediksikan kapan dan berapa lebat hujan akan turun.

Teori dan Metode Ilmiah
                Teori berawal dari pengamatan manusia, seperti apa yang kita amati tentang hubungan antara mendung dan turunnya hujan. Pengetahuan yang kita dapatkan dari pengamatan ini adalah pengetahuan faktual, sedangkan pengambilan kesimpulan dari hasil pengamatan dinamakan kegiatan berpikir. Berpikir yang unit analisisnya adalah fakta dinamakan berpikir faktual.
                Disamping berpikir faktual ini, manusia mengembangkan cara berpikir lain yang dinamakan berpikir konseptual atau konsepsional. Kalau dalam berpikir faktual, unit analisisnya adalah fakta, maka dalam berpikir konsepsional unit analisisnya adalah konsep. Konsep adalah abstraksi dari sekumpulan fakta yang direduksikan menjadi pernyataan verbal. Dalam hal ini, terjadi lompatan besar dalam cara berpikir manusia. Berpikir berdasarkan akal sehat unit analisisnya adalah fakta sedangkan berpikir ilmiah unit analisisnya adalah konsep. Itulah kenapa orang yang terdidik dalam bidang keilmuan mampu berpikir secara konseptual, sedangkan orang yang tidak terdidik tidak mampu berpikir seperti itu.
                Matematika bukan saja merupakan symbolic language yang efisien, melainkan juga alat berpikir deduksi yang canggih melebihi deduksi verbal. Dengan deduksi matematis inilah, maka Newton menyusun teori gravitasi dan Einstein menyusun teori relativitas. Hal ini tidak mungkin mereka lakukan kalau hanya mengandalkan bahasa verbal, Newton bahkan mengembangkan matematika khusus untuk mengartikulasikan teori gravitasinya yang sekarang dikenal sebagai diferensial dan integral. Teori ilmiah disusun di alam pikiran kita yang bersifat abstrak dan rasional.
                Masalah pengujian kebenaran yang terkandung dalam teori tersebut dapat dijawab melalui proses pengujian atau sering disebut sebagai verifikasi. Kebenaran teori ilmiah yang bersifat rasional ini mengalami proses pengujian di wilayah empiris dengan jembatan berupa hipotesis. Inilah yang kemudian berkembang menjadi metode ilmiah yang menggabungkan berpikir deduksi dan induksi dengan jembatan hipotesis yang terkenal dengan sebutan logico-hipothetico-verifikatif.
                Ilmu memfokuskan kajiannya pada dunia empirik, jadi semua harus bermula dan berakhir di dunia empirik juga. Teori yang ditemukan ini harus mampu menjelaskan dan memprediksikan gejala alam. Dalam hubungan ini maka teori gravitasi menjelaskan bahwa bumi dan bulan berada di orbitnya masing-masing karena adanya gravitasi.
                Ilmu dapat disimpulkan sebagai pengetahuan ilmiah yang diperolah melalui metode ilmiah yang berupa hubungan antara deduksi dan induksi dengan jembatan hipotesis. Pengetahuan ilmiah direpresentasikan oleh adanya konteks penemuan dan konteks justifikasi, konteks justifikasi ini memberikan landasan pembenaran ilmiah terhadap penemuan ilmiah. Dalam penemuan teori baru, konteks penemuan berada di dunia rasional berupa seperangkat pernyataan yang tersusun secara deduksi, sedangkan konteks justifikasi berada di dunia empirik berupa seperangkat data yang mendukung pernyataan teoretis tersebut. Dalam penelitian terapan, konteks penemuan berada di dunia empirik berupa hubungan faktual yang merupakan kesimpulan induksi, sedangkan konteks justifikasi berada di dunia rasional berupa teori ilmiah yang memayungi penemuan tersebut.

Beberapa Permasalahan Epistemologis dalam Kegiatan Keilmuan
Permasalahan-permasalahan yang biasa muncul dalam menyusun suatu penelitian ilmiah yaitu:
1.       Betapa sukarnya membimbing mahasiswa dalam melakukan penelitian tanpa ada konsensus bersama dia antara para dosen tentang bagaimana caranya melakukan penelitian. Tidak adanya konsensus ini bukan saja membuat proses bimbingan menjadi terseok-seok tanpa arah, namun yang lebih penting, mahasiswa lalu menjadi korban karena tak ada pegangan. Penelitian yang seharusnya merupakan pengalaman intelektual yang menyenangkan, berubah menjadi mimpi buruk karena pandangan yang berbeda-beda antara para dosen pembimbing dan promotornya.
2.       Adanya penelitian yang tidak mempunyai konteks justifikasi. Penelitian hanya mempunyai konteks penemuan yang dibangun di atas pengumpulan dan pengolahan data. Kalau kita percaya bawa pengetahuan ilmiah dibangun di atas dua wilayah yang saling melengkapi yakni konteks penemuan dan konteks justifikasi, maka kegiatan penelitian ini tidak mencerminkan hal itu. Tanpa justifikasi pada tiap fakta dapat dihubungkan dengan fakta lain meskipun tak ada argumentasi yang menjelaskan hubungan tersebut. Faktor justifikasi ini yang berfungsi menjelaskan mengapa satu variabel mempunyai hubungan nyata dengan variabel lainnya, yang menunjukkan koherensi pengetahuan tersebut dengan pengetahuan ilmiah lainnya.
3.       Kurang berfungsinya teori ilmiah sebagai acuan dalam membangun argumentasi deduktif yang menghasilkan hipotesis. Teori ilmiah hanya berfungsi sebagai referensi teoretis dan bukan kerangka berpikir yang menjelaskan suatu hubungan. Hipotesis secara langsung diajukan tanpa melalui penalaran deduktif.
4.       Hipotesis yang diajukan yang tidak bersifat definitif. Hipotesis hanya menyatakan “ada hubungan” tanpa merinci lebih lanjut bentuk tanpa merinci siapa yang lebih superior dan inferior. Pengajuan hipotesis seperti ini biasanya dikaitkan dengan persepsi bawa hasil penelitian secara final disimpulkan oleh data. Dalam konteks ini, kita tidak secara apriori menduga kesimpulan induksi data namun menerima sepenuhnya kesimpulan induksi data itu secara aposteriori. Hal ini juga tidak sepenuhnya mencerminkan semangat metode ilmiah yang merupakan gabungan berpikir deduktif dan induktif. Kedua cara berpikir ini sejatinya bukan saja saling memperkuat, tetapi sekaligus juga saling mengoreksi.
5.       Banyaknya penelitian deskriptif yang dilakukan sebagai penelitian akademik Penelitian deskriptif ini tidak membutuhkan deduksi karena tidak menganalisis hubungan antar variabel. Penelitian deskriptif sebagai penelitian akademik tidak membentuk kemampuan penalaran dan tidak memfungsionalkan teori ilmiah sebagai acuan. Tentu saja pengecualian harus diberikan kepada disiplin keilmuan idiografis yang tujuan utama analisisnya bersifat deskriptif umpamanya antropologi. Bentuk penelitian deskriptif tidak optimal sebagai sarana pendidikan bagi disiplin keilmuan nomotetis yang mementingkan penalaran dan pemikiran yang bersifat konseptual.



6.       Bentuk epistemologi yang dipergunakan dalam penelitian akademik yang lebih berorientasi pada penemuan daripada membentuk cara berpikir. Epistemologi yang sekarang sering dipergunakan adalah epistemologi penemuan ilmiah yang mendahulukan konteks penemuan yang diikuti oleh konteks justifikasi. Artinya, data harus dikumpulkan dan diolah dan kesimpulannya kemudian dibahas untuk menyusun justifikasinya. Epistemologi ini lebih cocok untuk peneliti profesional daripada mahasiswa yang sedang berada dalam proses belajar.
Semua masalah tersebut mengerucut pada kesimpulan bahwa penelitian dewasa ini tidak merefleksikan sepenuhnya metode ilmiah dan kurang membentuk cara berpikir ilmiah yang bersifat konsepsional, nalar, dan antisipatif.

Kegunaan Ilmu
                Pengetahuan ilmiah diajarkan melalui serangkaian kegiatan belajar-mengajar dan pada akhir pendidikan diadakan evaluasi untuk menilai sejauh mana pengetahuan ilmiah itu dikuasai. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menguasai pengetahuan ilmiah itu secara substantif dan jarang dilakukan untuk menguji kemampuan siswa untuk menerapkan pengetahuan ilmiah itu secara aplikatif dalam pemecahan masalah.
Secara sederhana, teori Maslow dapat direpresentasikan oleh tiga proposisi utama yakni:
1.       Perilaku manusia yang didorong oleh adanya kebutuhan.
2.       Dalam satu momen tertentu manusia mungkin mempunyai beberapa kebutuhan, namun hanya kebutuhan yang prioritas yang paling tinggilah yang mendorong perilaku manusia pada saat itu.
3.       Kebutuhan manusia yang banyak itu dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori dan kategori-kategori itu menyusun hierarki berjenjang dalam proses pemenuhan kebutuhannya.
Hierarki kebutuhan ini diurut dari kebutuhan paling rendah sampai paling tinggi. Hierarki kebutuhan ini jika diurut menurut hierarkinya adalah kebutuhan:
1.       Fisiologis; merupakan kebutuhan dasar manusia (kebutuhan ekonomi), seperti kebutuhan biologis, makan, pakaian, dan tempat tinggal.
2.       Rasa aman
3.       Sosial
4.       Harga diri
5.       Aktualisasi diri
Kebutuhan manusia yang hierarkinya lebih tinggi baru akan muncul bila kebutuhan lebih rendah telah terpenuhi.

Pengajuan Hipotesis Berdasarkan Teori Maslow
                Pengetahuan ilmiah pada hakikatnya merupakan sumber pengetahuan untuk mendapatkan “jawaban sementara” atau “hipotesis” terhadap permasalahan yang kita hadapi. Hipotesis diturunkan dengan melalui penalaran deduksi dengan mempergunakan proposisi teori ilmiah sebagai premisnya. Tanpa penalaran, maka pengetahuan ilmiah tidak akan berfungsi secata optimal dalam pemecahan masalah.
               



                Berdasarkan teori Maslow, sopir bis kota mengendarai kendaraannya secara ugal-ugalan disebabkan kebutuhan rasa aman belum muncul. Bukan berarti bahwa supir ugal-ugalan itu tidak mempunyai kebutuhan rasa aman, melainkan rasa aman, sebab bagaimanapun dia punya istri dan anak yang mungkin mendoakan keselamatannya di rumah, namun kebutuhan akan rasa aman ini dikalahkan oleh kebutuhan yang lebih dominan yang belum terpenuhi.
                Dari hipotesis yang kita ajukan, sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang dihadapi, harus kita verifikasi kebenarannya secara empiris dengan jalan melakukan penelitian. Namun harus dilihat bahwa tujuan akhir kita bukanlah penelitian, melainkan menemukan jawaban untuk menanggulangi perilaku supir bis kota yang ugal-ugalan. Penelitian adalah kegiatan perantara untuk menguji dugaan kita apakah didukung data atau tidak. Dalam realitas hidup yang sebenarnya, hipotesis itu diujikan dengan mengimplementasikan sebagai kebijakan publik secara terbatas sebagai uji coba. Pengujian hipotesis bukanlah tujuan akhir dari proses pemecahan masalah, melainkan rekomendasi pemecahan masalah berdasarkan tesis yang telah teruji kebenarannya.

Implikasi Penelitian
                Dalam penelitian yang menghasilkan teori baru, tugas utama penelitian adalah menyusun dan menguji keabsahan teori tersebut. Namun, bagi penelitian terapan yang bertujuan untuk memecahkan masalah tertentu, maka menemukan hipotesis yang teruji hanyalah merupakan langkah awal untuk mengembangkan pemecahan masalah yang sebenarnya.
                Melakukan verifikasi teori ilmiah hanya untuk verifikasi, tidak banyak gunanya terkecuali falsifikasi terhadap sebuah teori. Kita bisa melakukan proses falsifikasi terhadap teori Maslow di tanah Bugis, sebab disana kebutuhan hidup tidak mengikuti hierarki Maslow. Dengan proses falsifikasi ini maka gugurlah teori Maslow di tanah Bugis dan digantikan oleh teori baru yang merupakan modifikasi dari teori tersebut. Falsifikasi ala Karl Popper lebih ditujukan untuk menilai kebenaran sebuah teori dan bukan untuk menggunakannya. Penelitian tetapan adalah penelitian yang menggunakan teori untuk pemecahan masalah dan bukan untuk menilai kebenaran teori yang kita pergunakan.
                Ilmu berfungsi bukan sekedar untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksikan gejala alam, namun juga sekaligus mengontrolnya. Pemecahan terhadap permasalahan yang diajukan dalam penelitian, yang pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengontrol kejadian agar sesuai dengan kehendak kita, merupakan tujuan utama penelitian dan bukan pengujian hipotesis, walaupun pemecahan yang diajukan memang harus didasarkan kepada hipotesis yang telah teruji agar mempunyai landasan keilmuan yang dapat diandalkan.
Analisis kebijakan menghasilkan rencana aksi yang keampuhannya akan kita coba dalam kegiatan pemecahan masalah. Peranan keilmuan akan dapat dimanfaatkan kembali, yakni dengan merancang dan melaksanakan action research dalam skala kecil untuk menguji keampuhan konsep yang dihasilkan. Setelah konsep itu berhasil dalam skala kecil, maka akan diimplementasi dalam skala yang luas, sehingga kegiatan ilmiah berfungsi secara optimal dalam permasalahan yang dihadapi.




Teori vs Kerangka Berpikir
                Dalam penelitian ilmu-ilmu alam yang dilaksanakan di laboratorium, lingkungan penelitian dapat dikontrol secara fisik. Tetapi, dalam ilmu-ilmu sosial, dimana laboratoriumnya adalah kehidupan, kontrol secara fisik adalah mustahil dilakukan, dan bila pun hal ini dipaksakan, maka keadaannya menjadi tidak alamiah dan menjadi artifisial. Penelitian ilmu-ilmu sosial hanya melakukan kontrol melalui proses randomisasi dan desain penelitian yang artinya dengan proses pengacakan maka faktor-faktor lain yang tidak diteliti dianggap tersebar menurut distribusi normal dan dengan demikian tidak mempunyai pengaruh yang sistematis terhadap faktor yang menjadi variabel penelitian. Sedangkan variabel penelitian, diatur sedemikian rupa berdasarkan desain tertentu sehingga kita bisa menganalisis pengaruh variabel yang satu dengan variabel yang lainnya.
                Dalam penelitian ilmu-ilmu alam yang mempergunakan metode eksperimen, ilmuwan sudah terkondisikan untuk secara langsung menarik kesimpulan dari data empirik tanpa terlalu memperhatikan teori keilmuan secara apriori (sebelum kesimpulan penelitian ditarik). Teori keilmuan baru dimanfaatkan secara aposteriori (sesudah kesimpulan penelitian ditarik) sebagai jutifikasi hasil penelitian.
                Teori-teori yang ada dapat dianggap sebagai kerangka berpikir yang kita evaluasi melalui dua aspek. (1) tingkat rasionalitas argumentasinya; (2) keakuratan prediksinya. Kerangka berpikir yang paling rasional dan paling akurat prediksinya itulah yang akan dipilih untuk menjelaskan kejadian tersebut global. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial, terdapat beberapa teori yang menjelaskan satu kejadian yang sama, atau yang lebih sering terjadi, sama sekali tak terdapat teori apapun yang menjelaskan suatu kejadian tertentu.
                Upaya untuk menyusun teori-teori ilmu sosial, seperti yang berkembang dalam ilmu-ilmu alam, secara de facto sudah ditinggalkan. Ilmu-ilmu sosial tidak lagi mengembangkan teori nomotetis yakni teori yang mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol gejala alam, melainkan teori genetis yakni teori yang mendeskripsikan substansi objek tertentu Teori genetis mencakup deskripsi mengenai karakteristik entitas tertentu dari berbagai segi, kategorisasi, relasi, fungsi, cara kerja, pengembangan, dan sebagainya.

Penguasaan Sarana Berpikir Ilmiah
                Salah satu kemampuan istimewa manusia yang tidak dipunyai makhluk lain adalah kemampuan berbahasa. Penelitian terakhir menyimpulkan bahwa bahkan bayi pun mengembangkan bahasa untuk menyatakan bahwa mereka lapar, merasa tidak nyaman atau ingin buang air. Melalui bahasa inilah manusia mampu mengartikulasikan pikirannya dan menyampaikan buah pikiran itu kepada orang lain. Matematika pada hakikatnya merupakan bentuk lain dari bahasa. Matematika membantu manusia untuk melakukan proses berpikir deduktif yang canggih dan rumit yang tak mungkin dilakukan oleh bahasa verbal disamping kemampuan lainnya yang bersifat terukur secara kuantitatif. Untuk proses berpikir induktif, manusia dibantu oleh statistika yang juga membantu manusia dengan kemampuan lain seperti penarikan kesimpulan secara praktis dan ekonomis dengan mempergunakan metode pengambilan contoh (sampling). Metodologi penelitian juga telah berkembang dengan pesat sebagai alat untuk merancang penelitaian agar kesimpulan yang ditarik bersifat akurat dan absah.

Keutuhan Pengetahuan
                Pengetahuan ilmiah berkembang relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan pengetahuan-pengatahuan lainnya. Dunia pengetahuan seakan terbagi dalam dikotomi antara dunia ilmiah dan non-ilmiah. Dunia non-ilmiah ini dikenal sebagai humaniora yang mencakup semua cabang pengetahuan, terkecuali ilmu dan sarana yang secara khusus terkait dengannya seperti matematika dan statistika. Matematika adalah pengetahuan berdasarkan deduksi dan statistika adalah pengetahuan berdasarkan induksi, namun karena keduanya terkait erat dengan kegiatan ilmiah, maka mereka dikelompokkan dalam dunia keilmuan vis-à-vis dunia humaniora. Pengetahuan lainnya seperti filsafat, bahasa, seni, moral, dan agama tergolong kepada kelompok humaniora.
                Kaveling pengetahuan adalah landasan ontologi pengetahuan tersebut yang merupakan batas-batas penelaahannya. Bangunan pengetahuan adalah landasan epistemologi yang merupakan prosedur pemerolehan pengetahuan dan tubuh pengetahuan yang disusunnya. Atap pengetahuan merupakan landasan aksiologi baik itu bersifat internal atau eksternal. Nilai internal merupakan nilai yang mengarah ke dalam yang berkaitan dengan prosedur pemerolehan pengetahuan. Nilai internal juga memberikan landasan moral tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diteliti, umpamanya saja penelitian rekayasa genetika yang penuh dengan kontroversi. Nilai eksternal merupakan nilai yang mengarah ke luar yang berkaitan dengan penggunaan pengetahuan yang diperoleh. Pengetahuan juga dapat dikaitkan dengan nilai sosial yang mencermikan kedudukan dan pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat.
                Kebenaran ilmiah harus diperoleh melalui kejujuran yang merupakan asas moral. Ilmu dan teknologi yang diperoleh harus dipergunakan untuk kebaikan.

Metodologi Ilmiah:
Epistemologi Pemecahan Masalah
                Epistemologi adalah landasan kefilsafatan yang berkaitan dengan proses penemuan dan penyusunan pengetahuan. Epistemologi ilmu adalah bagian dari ilmu filsafat yang membahas proses dan penyusunan pengetahuan ilmiah. Pertanyaan-pertanyaan pokok yang ingin dijawab oleh epistemologi ilmu antara lain adalah: Apakah sumber pengetahuan itu? Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang bersifat ilmiah? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita memperoleh pengetahuan yang benar? Apakah yang disebut kebenaran oleh ilmu? Apakah kriteria kebenarannya? Teknik atau cara apa yang dapat dipergunakan dalam membantu kita memperoleh pengetahuan ilmiah? Sarana apakah yang dapat membantu kegiatan menemukan pengetahuan ilmiah?
                Metode di atas adalah metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara atau prosedur untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dengan langkah-langkah yang sistematis. Metodologi adalah pengetahuan tentang metode, atau lebih rinci lagi, kajian yang mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat sebuah metode.

Fakta: Titik Awal dan Titik Akhir Penelaahan Ilmiah
                Berpikir merupakan kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan dan metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah.
                Unsur pertama ialah wilayah penjelajahan yang dicakup dalam kegiatan ilmiah serta penafsiran tentang realitas yang ada di dalam wilayah kegiatan itu. Secara kefilsafatan terkandung dalam landasan ontologi dan metafisika keilmuan. Kita tidak bisa membahas masalah epistemologi tanpa mengkaitkannya dengan landasan ontologi sebab ada kaitan struktural dan substansial antara keduanya. Ontologi diibaratkan kaveling tanah dan epistemologi diibaratkan bangunan rumah yang akan didirikan di atas kaveling tersebut.
                Objek penelaahan ilmu berada di dunia empiris. Unit analisis dunia empiris adalah fakta. Fakta adalah unsur realitas, dan sabaliknya, totalitas fakta membentuk realitas. Jadi bagi ilmu realitas adalah kumpulan fakta yang dapat dijangkau oleh pancaindra.
                Konsepsi adalah gagasan atau idea yang diabstraksikan dari fakta-fakta yang memungkinkan kita untuk memahami secara sekaligus berbagai fakta yang tercakup dalam konsepsi tersebut. Salah satu bentuk konsepsi adalah teori ilmiah yang mampu mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol gejala alam.




Dari Fakta ke Teori
                Paham empirisme berpendapat bahwa lewat proses induksi kita akan dapat menyusun teori ilmiah yang mampu menafsirkan secara konsepsional berbagai fakta di dunia empiris. Pendapat ini tidak benar, sebab induksi hanya mampu menarik kesimpulan kausal tentang hubungan faktual namun tidak mungkin menyusun teori bersifat konsepsional. Teori disusun secara logis dan sistematis berdasarkan pengamatan empiris. Ilmu menggunakan baik paham empirisme maupun paham rasionalisme sebagai sumber pengetahuannya. Kedua paham itu bersifat saling memperkuat dalam menemukan pengetahuan yang bersifat konseptual dan teruji.
                Hipotesis adalah serangkaian pernyataan yang dideduksikan dari teori ilmiah yang kebenarannya dapat diuji di dunia empiris. Dunia empiris adalah titik awal dan titik akhir dari kegiatan ilmiah. "Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta", kata Einstein, "apa pun teori yang menjembatani antara keduanya". Prosedur yang menggabungkan berpikir rasional dan pengamatan empiris dengan jembatan berupa hipotesis ini dinamakan metode ilmiah. Atau lebih dikenal metode logico-hypothetico-verifikatif. Prosedur yang ditempuh dalam penemuan baru ini, baik berupa teori atau penemuan apa saja, untuk memudahkan analisis dinamakan epistemologi penemuan teori baru.

Deduksi Hipotesis
                Katakanlah kita ingin melakukan verifikasi terhadap kebenaran "hukum pembentukan harga" dalam ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa: (1) jika permintaan tetap sedangkan penawaran naik maka harga akan turun; (2) jika permintaan tetap sedangkan penawaran turun maka harga akan naik.
                Verifikasi empiris terhadap kebenaran pernyataan di atas dapat kita lakukan pada benda ekonomi yang mempunyai permintaan tetap sepanjang waktu seperti beras. Satu hal yang ingin digaris bawahi di sini ialah bahwa hipotesis yang diajukan merupakan suatu deduksi dari suatu pemikiran yang kebenarannya kita ingin verifikasi. Hipotesis di sini diajukan tidak secara begitu saja melainkan ditopang oleh suatu kerangka berpikir yang merupakan argumentasi. Hipotesis yang menyatakan "terdapat hubungan antara x dan y" atau "terdapat perbedaan antara x dan y". Hipotesis semacam ini, kalau kita telusuri secara jujur, lebih merupakan hipotesis statistik daripada hipotesis penelitian.

Deduksi Nomologis, Deduksi Rasional dan Rational Choice Theory(RCT)
                Hipotesis mengenai fluktuasi harga dideduksikan dari suatu teori yakni teori atau hukum pembentukan harga. Deduksi ini dinamakan deduksi nomologis yang berarti bahwa argumentasi yang dilakukan dalam penarikan kesimpulan berasal dari teori atau pernyataan yang sama.
                Ilmu-ilmu sosial telah meninggalkan upaya untuk menyusun suatu grand theory yang bersifat monistis karena teori semacam ini hanya membarikan sedikit proporsi yang rinci untuk memperoleh hipotesis yang bisa dibuktikan. Teori semacam ini berguna sebagai kerangka acuan yang disebut sensitizing concept yang mengarahkan peneliti pada variabel-variabel tertentu dalam penelitian. Teori yang lebih sederhana, yang disebut middle range theory (teori jalan tengah) digagas oleh Robert Merton, telah dicoba dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial. Walaupun jumlahnya terlalu sedikit sehingga peneliti ilmu-ilmu sosial sering tidak bisa menemukan teori yang bisa dijadikan payung bagi penelitiannya.
                Teori kepemimpinan dalam manajemen cukup dikenal dan cukup fungsional untuk mendeskripsikan bermacam-macam bentuk kepemimpinan dalam manajemen namun tidak dapat membuat prediksi. Untuk tujuan analisis, maka teori yang tidak bersifat nomotetis ini, kita sebut sebagai teori genetis.
                Masalah yang dihadapi peneliti ilmu-ilmu sosial dewasa ini adalah bagaimana kita bisa melakukan prediksi dengan dasar teori genetis yang tidak mempunyai kemampuan profetik. Untuk itu kita dapat berpaling kepada Rational Choice Theory (RCT) sebagai dasar filosofis untuk melakukan prediksi yang dikembangkan bersama George Homans (1961), Peter Blau (1964), dan Coleman (1973). Dalam RCT, unit elementer dari kehidupan sosial adalah individu dan semua gejala sosial yang kompleks. Dalam konteks ini, individu dimotivasi oleh keinginan atau tujuan yang mencerminkan preferensi mereka. Berdasarkan hal ini maka mereka harus melakukan pilihan, baik dikaitkan dengan tujuan maupun cara mencapai tujuan. RCT menganggap bahwa individu harus dapat mengantisipasi hasil dari berbagai alternatif yang dapat dilakukan dan memilih alternatif yang terbaik bagi dia.
                Maka tugas peneliti adalah mengkonstruksikan teori yang logis dan koheren yang memprediksikan tindakan manusia dengan asumsi bahwa manusia akan berpikir rasional. Dalam mengkonstruksikan penjelasan rasional ini kita harus memperhitungkan berbagai asumsi yang terdapat dalam realitas sosial. Realitas sosial begitu beragam yang menyebabkan generalisasi yang berlaku secara universal sukar dilakukan.
                RCT dapat dipergunakan untuk mengembangkan model realitas yang kebenarannya dapat diiuji sacara empiris. Model realitas ini dapat merupakan modifikasi dari model yang diturunkan dari teori nomotetis. Membedakan hipotesis konseptual yang akan kita uji secara empiris dan hipotesis statistis untuk analisis pengujian statistis. Dalam kehidupan sehari-hari, kalau kita kelak menjadi eksekutif yang harus memutuskan masalah, keputusan kita pada hakikat nya merupakan hipotesis yang definitif dengan memperhatikan berbagai faktor.

Epistemologi Pemecahan Masalah
                Epistemologi penemuan teori baru adalah prosedur yang dilakukan melalui metode ilmiah untuk menemukan teori baru. Untuk tujuan penelitian akademik kita akan mengembangkan prosedur baru yang dinamakan epistemologi pemecahan masalah. Dengan tetap merujuk kepada metode ilmiah yang berupa logico-hypothetico-verifikatif maka prosedurnya mengalami modifikasi.
                Setelah masalah dirumuskan di dunia empirik maka kita tidak langsung melakukan induksi seperti apa yang dilakukan dalam epistemologi penemuan teori baru namun melakukan deduksi untuk menyimpulkan hipotesis yang disusun dengan mengacu kepada teori-teori ilmiah yang relevan. Berdasarkan premis yang diambil dari teori-teori ilmiah ini maka disusun secara deduktif kerangka berpikir yang merupakan argumentasi bagi pengajuan hipotesis. Ide yang bersifat apriori ini adalah teori ilmiah yang kita kenali lewat proses belajar teori keilmuan.
                Induksi dilakukan dalam rangka verifikasi hipotesis yang kita ajukan, atau lebih tepat lagi, pengumpulan dan pengolahan data dalam rangka pemecahan masalah diarahkan oleh hipotesis yang diajukan. Kita mempergunakan teori untuk memecahkan masalah yang dihadapi sesuai dengan fungsi teori ilmiah yang sebenarnya. Hipotesis akan diuji kebenarannya sebelum dijadikan dasar bagi pemecahan masalah selanjutnya.
                Baik epistemologi penemuan teori baru maupun epistemologi pemecahan masalah keduanya mempergunakan metode logico-hypothetico-verifikatif. Epistemologi pemecahan masalah meninggikan cara berpikir rasional dan konseptual dengan tujuan memanfaatkan secara maksimal berbagai pengetahuan ilmiah yang telah dipelajarinya selama ini.
                Kita melihat banyak penelitian akademik kita yang hanya melakukan induksi dan tanpa deduksi. Penelitian dengan hanya mengandalkan induktif ini adalah metode paham empirisme yang berasal dari induksi Baconian dan bukan metode ilmiah yang menggabungkan paham empirisme dan rasionalisme dengan jembatan hipotesis. Induksi semacam ini hanya menghasilkan pengetahuan faktual tanpa kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan yang bersifat konseptual. Bagi penelitian akademik, prosedur semacam ini tidak bersifat mendemonstrasikan metode ilmiah yang sesungguhnya.

Evaluasi Kritis
                Dalam epistemologi penemuan teori baru sekiranya hipotesis yang dideduksikan dari teori itu ditolak dalam proses verifikasi maka otomatis teori itu gugur sebab diangggap tidak benar. Lain halnya dengan epistemologi pemecahan masalah. Hipotesis yang ditolak bukan berarti bahwa konsep pemecahan yang diajukan itu tidak benar namun mungkin saja bahwa penolakan ini disebabkan oleh hal lain. Kita harus mengeksplorasi kemungkinan lain ini sebab revaluasi yang bersifat kritis terhadap hasil pengujian hipotesis mungkin akan membuka koridor terhadap penemuan penelitian. Sebab lain ini ialah kemungkinan bahwa kita melakukan kesalahan dalam metodologi penelitian atau kita melakukan kesalahan dalam penyususan kerangka berpikir.
                Kalau ternyata kita menemukan kekeliruan dalam aspek metodologis yang mengakibatkan ditolaknya hipotesis yang diajukan maka kita harus menunda kesimpulan pengujian hipotesis ini. Kita bisa menyatakan bahwa kita belum bisa menyimpulkan hasil pengujian hipotesis disebabkan adanya kesalahan dalam metodologi penelitian. Dengan demikian masih terbuka kesempatan untuk menguji kebenaran jawaban sementara yang kita ajukan.
                Jadi hipotesis definitif yang diterima atau ditolak sama-sama akan mengarahkan kita kebenaran selama penalaran berfungsi dalam penelitian.

Kriteria Kebenaran dalam Kegiatan Keilmuan
                Kita mempergunakan teori kebenaran koherensi dalam proses deduksi dan teori kebenaran korespondensi dalam proses induksi. Teori pragmatisme kita pergunakan dalam menilai kebenaran teori ilmiah yang selalu silih berganti sesuai dengan perkembangan pengetahuan ilmiah.
                Kriteria kebenaran keilmuan tercermin dalam membagi kegiatan keilmuan menjadi dua wilayah yakni konteks penemuan dan konteks justifikasi (pembenaran). Artinya suatu penemuan penelitian harus mempunyai justifikasi agar dapat dianggap memiliki kebenaran secara ilmiah. Maka kita membedakan antara penelitian murni yang bertujuan menemukan teori baru dan penelitian terapan yang bertujuan memecahkan masalah dengan mempergunakan teori yang telah ditemukan. Dalam hal ini maka konteks penemuan teori baru berada di dunia rasional dan konteks justifikasi berada di dunia empiris. Sedangkan penelitian terapan bersifat sebaliknya, konteks penemuannya berada di dunia empiris (berupa hubungan faktual) dan konteks justifikasinya berada di dunia rasional (berupa teori).
                Teori yang ditemukan di dunia rasional selanjutnya merupakan referensi teoretis untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan dan mengontrol gejala alam yang berada di dunia empiris. Sebaliknya, penemuan faktual di dunia empiris dapat mengacu kepada teori yang bermukim di dunia rasional untuk memberikan justifikasi berupa argumentasi teoretis tentang penemuan empiris tersebut. Epistemologi pemecahan masalah adalah prosedur yang bernaung dalam penelitian terapan dengan memanfaatkan teori-teori keilmuan yang telah ditemukan.
Berdasarkan posisi konteks penemuan dan konteks justifikasi kita dapat membagi epistemologi penelitian terapan menjadi dua bentuk. Bentuk pertama adalah epistemoogi pemecahan masalah dengan konteks justifikasi didahulukan dan diikuti oleh konteks penemuan. Bentuk kedua adalah mendahulukan konteks penemuan yang diikuti oleh konteks justifikasi. Itulah sebabnya epistemologi ini dinamakan epistemologi penemuan ilmiah.
                Epistemologi penemuan ilmiah merupakan bentuk epistemologi yang sekarang banyak dipergunakan di negara kita. Epistemologi ini mendahulukan kesimpulan yang ditarik dari pengumpulan data dan selanjutnya dibahas untuk memberikan justifikasi terhadap penemuan empiris tersebut.
                Epistemologi pemecahan masalah merupakan bentuk epistemologi yang kurang dikenal di negara kita yang sebenarnya justru bersifat sangat fungsional dalam pendidikan keilmuan.




Berpikir Konsepsional, Nalar, dan Antisipatif
                Saya sependapat dengan Easley bahwa metode ilmiah merupakan hal yang penting bagi komunitas ilmiah untuk melaksanakan kritik terhadap hasil penelitian ilmuwan lain dan penting bagi sistem pendidikan dalam mendidik calon ilmuwan. Di kemudian hari para lulusan yang tidak bekerja dalam profesi keilmuwan akan lebih bergelut dengan cara berpikir konsepsional, nalar, dan antisipatif dalam masalah-masalah sosial ketimbang proses pengumpulan dan pengolahan data dalam masalah ilmu-ilmu alam.
                Para pengambil keputusan harus mampu berpikir dengan cepat secara konsepsional, nalar dan antisipatif. Dalam realitas kehidupan yang nyata jarang para pengambil keputusan mempunyai data yang lengkap yang dapat dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan. Keputusan itu dilakukan berdasarkan pertimbangan rasional yang didukung oleh nalar yang bekerja baik. Kalau pengambilan keputusan tidak mampu berpikir nalar dan konsepsional dalam mencari pemecahan hipotesis terhadap permasalahan sehari-hari maka pendidikan keilmuan pada esensi yang paling penting telah gagal membentuk cara berpikir ilmiah.

Penguasaan Metode Ilmiah di Perguruan Tinggi              
                Di samping metodologi penelitian yang mengacu kepada metode ilmiah yang berasaskan logico-hyphotetico-verifikatif ini, yang sering disebut metode penelitian positivistik, terdapat berbagai metodologi penelitian yang mengacu kepada bentuk pemikiran lain seumpama metodologi penelitian kualitatif. Pemikiran dalam keilmuan dapat dibagi ke dalam dua kategori yakni pemikiran nomotetik dan idiografik. Pengetahuan keilmuan yang bersifat nomotetik adalah pengetahuan ilmiah yang mempelajari fakta empiris dengan tujuan mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan dengan mengontrol gejala alam. Pengetahuan keilmuan yang bersifat idiografik adalah pengetahuan ilmiah yang mempelajari "alam dan manusia dalam setting yang alamiah" dengan tujuan untuk mendapatkan pengertian (understanding) berdasarkan cara pandang manusia yang hidup dalam setting tersebut.
                Disiplin keilmuan kadang-kadang dibagi ke dalam kategori disiplin keilmuan nomotetis dan idiografis. Semua disiplin keilmuan ilmu-ilmu sosial dimasukkan ke dalam kategori disiplin keilmuan nomotetik terkecuali antropologi. Hanya antropologi yang dimasukkan ke dalam disiplin keilmuan idiografis. Pembagian ke dalam dua kategori ini lebih ditekankan kepada prioritas dalam tujuan penyusunan tubuh pengetahuan ilmiahnya.
                Antara paradigma penelitian positivistik dan paradigma penelitian kualitatif tidak bersifat saling menafikan melainkan saling membutuhkan.
                Sebaiknya semua program S1 (program sarjana) memprioritaskan paradigma penelitian positivistik, yang memungkinkan lulusan dari disiplin apa pun mempunyai kemampuan berpikir nalar, konsepsional dan antisipatif yang diperlukan dalam pengambilan keputusan. Metodologi penelitian kualitatif bukanlah paradigma yang mengacu kepada teori dalam kegiatannya sebab sejatinya paradigma kualitatif bersifat mengembangkan teori (theory generating). Program S2 (program magister) dan S3 (program doktor) dapat mempergunakan metodologi penelitian kualitatif untuk penelitian akademiknya.




Hasil penelitian tidak hanya akan menjadi pajangan namun secara konkret tampil didepan memberikan suluh dalam kegiatan. Kita tidak dapat berdiam diri dan hanya menyerahkan masa depan kepada perjalanan waktu tanpa persiapan. Kita harus berupaya melihat ufuk kejauhan sebaik mungkin seperti apa yang dikatakan Macbeth:
Andaikan kau dapat menatap kedalam benih-benih waktu
Dan mengatakan butir mana yang akan tumbuh
Dan mana yang akan layu ...

(If you can look into the seeds of time
And which grain will grow
And which will not ...)

Dikotomi Penelitian Akademik
Dan Profesional

The song is to the singer, and comes back most him,
The teaching is to the teacher, and comes back most to him.
Walt Whitman, Leaves of Grass

The song not the Singer
Dalam penelitian profesional yang penting adalah hasilnya. Peneliti profesional, berbeda dengan anggapan orang, adalah kegiatan yang tidak sistematis namun penuh dengan imajinasi dan kreativitas yang tidak ada dalam  buku teks. Dalam konteks ini, meminjam perkataan pemenang Nobel fisika P. W. Bridgman, kegiatan ilmiah merupakan “cara berpikir gue semau gue” (doing one’s damnedest with one’s mind, no hold barred). Secara etimologis hal ini berarti: temukan dulu, kemudian berikan justifikasi keilmuan. Proses ini bersifat sirkular, penuh pengulangan serta cek dan re-cek.
                Setelah permasalahan penelitian dirumuskan maka langsung dilakukan pengumpulan data  berdasarkan referensi yang ditulis dalam kajian pustaka. Hipotesis diajukan namun lebih berfungsi sebagai hipotesis yang tidak bersifat definitive. Setelah data dikumpulkan kemudian diolah dan disimpulkan sebagai kesimpulan penelitian. Kemudian diberikan penjelasan teoretis dalam pembahasan. Lengkaplah langkah-langkah penelitian yang terdiri dari masalah-konteks penemuan-konteks justifikasi.
                Epistemologi ini memberikan kemudahan kepada ilmuwan professional sebab tidak usah mengajukan hipotesis  yang definitive sebelum pengumpulan data dilakukan. Epistemologi ini mengandung bahaya sebab cenderung menerima tanpa penalaran kritis apapun yang menjadi kesimpulan data.

The Singer not the Song
                Penelitian  akademik, berbeda dengan penelitian profesional yang mengutamakan output, harus lebih menekankan proses dalam pelaksanaannya.
                Penelitian akademik pada hakikatnya bertujuan memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk menguasai dan mempraktikan segenap aspek keilmuan dari teori-teori ilmiah yang sudah dipelajarinya selama ini sesuai dengan hakikat keilmuan. Secara lebih terperinci penelitian akademik bertujuan melatih kemampuan yang mencakup antara lain (1) menerapkan teori sesuai dengan fungsinya; (2) menyusun  kerangka berpikir dalam menghadapi masalah; (3)  berpikir  prediktif (hipotesis) berdasarkan kerangka berpikir yang argumentative dan nalar; (4) kemampuan menyusun  instrumen penelitian dan kalibrasinya (validitas dan reliabilitas); (5) kemampuan menyusun metodologi penelitian yang sesuai dengan permasalahan (metode penelitian, metode pengambilan contoh, dan metode pengambilan data); (6) menafsirkan kesimpulan data secara kritis dengan melakukan re-cek terhadap metodologi penelitian bila terdapat keraguan; (7)  menarik kesimpulan secara kritis terhadap hasil penguji hipotesis; dan (8) mengembangkan implikasi penelitian dalam upaya pemecahan masalah.
                Berpikir konseptual, nalar, dan prediktif  merupakan ciri utama dari epistemology. Bagi penguji hipotesis netral bila datanya menunjukan pengaruh positif atau negatif maka hal itu tidak menjadi soal. Lain bagi peneltiti yang mengajukan hipotesis definitive yang konsisten dengan teori ilmiah. Untuk itu dia tidak percaya begitu saja kepada data yang diperolehnya dan melakukan evaluasi kritis terhadap apa yang telah dilakukannya. Pertama dia melakukan evaluasi terhadap metodologi penelitian. jika tidak ada kekeliruan dia mulai mencari penjelasan logis terhadap data yang tidak konsisten dengan teori yang dipergunakannya.
                 Hipotesis yang  orisinal biasanya melawan arus dan betul-betul harus didukung oleh  argumentasi yang kuat. Inilah kelebihan epistemology pemecahan masalah yang cocok untuk kegiatan pendidikan dalam mengembangkan berpikir konseptual, nalar, dan antisipatif. Kalau hal ini sudah terbiasa menjadi nilai yang membentuk karakter individu yang selanjutnya membentuk karakter bangsa.

Ke Arah Diverisifikasi Kegiatan Penelitian
                Aspek-aspek penelitian seperti bentuk penelitian, perumusan masalah, kajian kepustakaan, proses pengumpulan, dan analisis data serta penyajian laporan penelitian, semuanya mengacu kepada tujuan keilmuan yang ingin diwujudkan dalam kegiatan penelitian.
                 Pada dasarnya penelitian dapat digolongkan ke dalam tiga kategori dasar yakni penelitian akademik, profesional, dan institusional (atau dapat disebut juga penelitian kebijakan). Penelitian akademik adalah penelitian yang dilakukan seorang peneliti yang sedang berada dalam proses pendidikan atau latihan. Disamping penelitian akademik ada juga penelitian yang dilakukan oleh ilmuan  atau peneliti profesional. Kegiatan ini tidak terkait dengan proses pendidikan sebab peneliti yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini telah diproses kemampuannya. Peneliti dalam akademik dapat diibaratkan sebagai peneliti-yang-sedang-menjadi (in statu nascendi) sedangkan peneliti berkecimpung dalam kegiatan penelitian yang kedua sebagai peneliti-yang-sudah-jadi.

Peneliti Akademik
                Pengetahuan ilmiah secara keseluruhan terdiri dari empat bagian yakni pengetahuan filosofis mengenai hakikat ilmu, pengetahuan metodologis mengenai rincian pemrosesan ilmu, pengetahuan teoretis tentang tubuh pengetahuan yang telah disusun, dan penggunaan aplikatif pengetahuan ilmiah sebagai acuan dalam pemecah masalah. Penelitian akademik mempunyai tujuan untuk menilai apakah peserta didik telah menguasai keempat aspek pengetahuan ilmiah. Penelitian akademik dapat dirancang untuk sebagai sarana evaluasi. Penelitian akademik juga berfungsi sebagai media pengontrol kualitas.
                Secara terinci maka penelitian merupakan sarana edukatif sekaligus sarana evaluative, sebagai berikut:  (1)  menguasai hakikat ilmu; (2) menguasai metode ilmiah; (3) menguasai fungsi teori ilmiah; (4) menguasai pengetahuan teoretis; (5) menguasai penalaran; (6) menguasai metodologi penelitian; (7) menguasai kemampuan untuk menyimpulkan; (8) menguasai kemampuan untuk mengembangkan pemecahan masalah; dan (9) menguasai teknik penulisan.

Validitas Internal vs Validitas Eksternal
                Validitas internal mencerminkan keabsahan dalam proses penemuan kebenaran baik dari segi rasionalitas maupun empirik. Validitas eksternal mencerminkan keandalan generalisasi temuan hasil penelitian untuk dapat diterapkan dalam populasi dan lingkup yang lebih luas. Dengan penekanan kepada control yang bersifat internal ini maka variable penelitian harus terbatas dengan sampel  penelitian terbatas pula.
                 Produk utama dari kegiatan peneliti akademik manusia peneliti yang telah lulus dari proses pendidikan diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan baru yang mempunyai kegunaan teoretis maupun  praktis maupun eksekutif  pengambilan keputusan yang mampu berpikir secara konsepsional, nalar, dan antisipatif dengan mengacu kepada hakikat keilmuan.

Evaluasi Peneliti Akademik
                Evaluasi pertama penelitian akademik dilakukan terhadap usulan penelitian. Evaluasi kedua dilakukan terhadap instrumen penelitian  yang telah disusun. Kesalahan dalam penelitian dapat dibagi dalam dua kategori yakni kesalahan metodologis dan kesalahan teknis. Kesalahan metodologis dalam penelitian tidak dapat diampuni dan alternatifnya adalah mengulang kembali penelitian itu. Kesalahan teknis biasanya tidak terlalu parah dan dapat dipebaiki tanpa harus mengulang kembali penelitian.
                 Evaluasi selanjutnya yang sering dilakukan di perguruan tinggi adalah seminar hasil penelitian sebelum ujian dilaksanakan. Seminar ini dilakukan secara terbuka sebagai pemanasan dan persiapan  bagi ujian tertutup. Ujian tertutup adalah ujian dalam arti yang sesungguhnya, dan bimbingan terakhir yang dilakukan oleh segenap anggota komisi ujian.

Penelitian Profesional
                Penelitian ini tujuan utamanya adalah mendapatkan penemuan baru baik berupa pengetahuan maupun teknologi baru.
                Dalam bidang penemuan baru biasanya dikenal dengan dua tahapan yang berada yakni tahap pengembang prototype dan produk final. Penelitian profesional yang bersifat pengembangan prototype biasanya menekankan kepada validitas internal. Kemudian dalam tahap pengembangan produk final kedua validitas, baik internal maupun eksternal, harus dipenuhi.
                Penelitian tidak dilakukan secara penelitian akademik yang bersifat one way ticket (Cuma sekali jalan) namun dilakukan berulang-ulang, dengan cek dan re-cek, sampai mendapatkan  kebenaran yang pasti. Jika penelitian akademik bersifat linier dengan tahapan yang jelas dan terbakukan maka penelitian profesional bersifat spiral yang bersifat konvergen menuju hasil. Dalam konteks ini, mungkin ada benarnya peringatan yang diberikan Leonard Nash, bahwa ada bahaya yang mengintai di balik mitos metode ilmiah: yakni bahwa ilmuwan akan memperlakukan langkah-langkah dengan sungguh-sunguh. Artinya, kita memperlakukan langkah-langkah dalam metode ilmiah terlalu kaku.
                Epistemologi pemecah masalah adalah sarana edukatif yang melalui kegiatan peneliti membentuk kemampuan berpikir ilmiah yang bersifat konsepsional, nalar, dan antisipatif. Hal ini dikaitkan dengan konteks  justifikasi yang didahulukan sebelum konteks penemuan.

Penelitian Kelembagaan
                Peneliti  kelembagaan difokuskan pada pemerolehan informasi yang dipakai sebagai dasar bagi pengambilan keputusaan. Keputusan yang diambil biasanya menyangkut dua hal yakni keputusan yang menyangkut perumusan kebijakan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan dalam bentuk program. Semua variable yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan harus tercakup dalam lingkup penelitian.

Catatan Akhir
                Penelitian  kategori generic penelitian yang mempunyai tujuan yang berbeda-beda tidak lagi memenuhi syarat sesuai dengan tuntutan spesialisasi. Untuk itu kita mencoba membagi penelitian menjadi tiga cabang utama yakni penelitian akademik, profesional, dan intitusional. Rambu-rambu penelitian  akademik ini perlu kita kembangkan agar semua ini dapat dijabarkan dalam bentuk kegiatan pendidikan keilmuan, penelitian ilmiah serta instrumen untuk mengevaluasi penelitian.